Saya kira, itu yang disampaikan Bu Niken (Kemenkoinfo) dan Bu Lisa (Bappenas) menunjukkan Negara sudah melakukan banyak hal yang erat kaitannya dengan upaya melindungi anak.  Pertanyaannya, kenapa di tengah isu anak yang begitu serius di banyak negara, tidak segera terhenti persoalan eksploitasi anak yang dilacurkan?

Saya melihat, sebagai isu, ini isu kemanusiaan. Tapi, public discourse di Indonesia tersimplifikasi dan memandang persoalan seperti ini sebagai gejala moral.  Kedua, itu dianggap tidak serius karena seringkali ditumpangi oleh isu-isu yang lain.  Orang lebih ribut soal Kampret dan Kecebong, mendengarkan ributnya Fahri Hamzah dan Fadli Zon bicara daripada persoalan-persoalan seperti ini.  Ini menunjukkan ruang publik kita semakin kumuh.  Discourse mengenai kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, tidak pernah menjadi mainstream issue. Padahal, ada isu kemanusiaan yang dibicarakan. Artinya, sekalipun sekarang di era keterbukaan dan demokrasi, kumuhnya ruang publik ini membuat distorsi bertingkat.

Cerita dari Bu Niken dan Ibu Lisa menggambarkan ini problemnya terletak pada jadi semakin kumuh. Ini menunjukan bahwa program, belum terpadunya –yang Saya sebut- mainstreaming issue di level state.  Dalam bentuk regulasi kelembagaan maupun alokasi budget dengan social movement.  Untung ada beberapa teman yang mengangkat isu ini ke publik dengan kampanye di netizen yang menyambut beberapa isu ini seperti SAMIN  dan teman-teman jaringan yang ada.

Kalau ada, kita baru sadar kalau ada kasus. Itu pun sebentar. Cek.  Nanti, ditutup lagi isu: Fadli zon.  Tutup lagi isu Setya Novanto, terus begitu. Saya sebagai ilmuwan sosial, yang kerja di sipil politik, seringkali merasa urusan politik mendistorsi persoalan-persoalan yang lain.  Padahal, politik itu sebetulnya ada seni, keindahan, ada value.  Tapi, gara-gara politisi, jadi begini.

Kemudian, kenyataan masih banyak eksploitasi anak itu berlangsung dan kurang mendapatkan perhatian serius.  Kalau bicara konstitusi, apa kurangnya? Konstitusi menjamin soal itu.  Isu perlindungan ini selalu diulang-ulang di setiap diskusi. Tapi, ketika bicara political will dalam praksis menjadi aktifitas yang berkelanjutan, ini kita abaikan.

Saya mengatakan, negara -dalam hal ini pemerintah- perlu mengkoreksi beberapa pendekatan yang kurang efektif.  Kita harus mengakui, di lingkungan masyarakat kita -secara sosio cultural- masih banyak kenyataan yang disebut dengan kerentanan.   Melecehkan anak dengan mengguyoni, dengan bahasa macam-macam, itu masih banyak. Orang tidak sadar bahwa itu praktek pelecehan, itu menjadi endapan di bawah sadar yang nanti akhirnya membiarkan ketika terjadi pelacuran anak itu.  sehingga, orang tidak segera bergerak, hanya tertawa.  Nanti kalau ada yang meninggal, kasihan. Itu kalau sudah kejadian. Tapi, tidak ada dorongan untuk mengedukasi dan mencegah praktek-praktek seperti itu.

Apa yang perlu kita bicarakan dan lakukan secara serius?  Selama ini ada dua kutub persengketaan antara kuratif dan preventif.  Negara bobotnya lebih cenderung kuratif, mengatasi masalah eksploitasi anak yang cenderungnya –mohon maaf kalau kita berbeda pandangan- sangat reaksioner. Kasus penanganan tenaga kerja di luar negeri, kalau tidak ada kasus perempuan mendapatkan siksaan, seolah tidak ada masalah. Begitu juga, kalau tidak ditemukan mayat anak laki atau perempuan karena disodomi atau macam-macam, seolah tidak ada masalah.  Padahal, anak yang takut dan selama ini terbebani tidak berani bicara.  Ini karena semakin kumuhnya persoalan di publik, sehingga orang mau bicara begini saja takut tidak direspon. Itu pun di bawah tekanan psikologi.

Saya juga memberi catatan, ini kritik Saya kepada pemerintah meskipun pendukung Jokowi. Pemerintah terlalu terjebak pada birokratisasi dan instrumentalisasi dalam menangani soal anak sehingga menghilangkan pesan substansi hak anak itu.   sekali lagi Saya katakan, antar Kementerian tidak ada konsolidasi untuk menjawab itu sebagai sebuah problem.  Kalau koordinasi sudah sering rapat tapi sinyalnya tidak sambung.  Itu Saya alami juga untuk advokasi soal desa.  Ini pekerjaannya sama, di depan mata, jelas.   Eksploitasi anak itu, lokasinya jelas, jaringannya jelas, tapi komitmen untuk membongkarnya yang tidak jelas.  Pendekatan-pendekatan ini harus terus menerus.  Saya setuju bahwa ini bukan pekerjaan yang semata-mata ditumpukan kepada pemerintah.  Tapi, secara konstitusional, pemerintah harus lead itu semua.  Saya yakin, kalau gerakan sosial –NGO, CSO- didorong untuk dirajut, pasti akan bergerak.

Preventif dan kuratif selama ini tidak berjalan terpadu.  Ada orang yang kampanye soal pencegahan. Tapi, jumlahnya sangat minim.  Anda bisa lihat tindakan permisif terhadap eksploitasi anak di berbagai tempat.  Lihatlah di youtube, kasus-kasus yang diunggah, anak-anak memperoleh perlakuan bullying dan lainnya banyak sekali. Saya katakan, bahwa data itu penting. Ya.  Tapi, data kita hanyalah data statistik bukan data dalam pengertian kemanusiaan.  Statistik, hanya gejala angka, hanya dibaca sebagai gejala teknis.  Angka baru bermakna kemanusiaan kalau banyak. Itu bahaya.  Satu orang pun meninggal seharusnya menjadi tanggungjawab secara moral, sebagai warga negara.  Saya kira, ini yang perlu diangkat.

Strategi mengatasi anak dalam pendekatan hukum, sekarang ini juga masih berorientasi pada hilir, per kasus. Tapi, hulunya tidak ditangkap sehingga gagal menangkap akar masalahnya.  Bahkan, Saya katakan pendekatan yang ada selama ini cenderung fragmented.

Mainstream isu kita, soal policy, tidak memasukkan isu seperti ini dalam praksis.  Dokumen perencanaan, kemarin review soal RPJMN dan Nawacita.  Teknokratisasi kita kuat, indikatornya bagus tapi tidak pernah dievaluasi, mengapa terjadi sumbatan-sumbatan di level implementasi: mulai dari ego sektoral.  Anak ini urusan siapa? apakah sekedar perlindungan anak dan perempuan saja?  Tidak.  Karena kerentanan anak itu bersumber pada abainya berbagai sektor.  Lead-nya mestinya dia.  Tapi, sektor  yang lain mestinya juga diperbincangkan.  Saya kira, persoalan ini kalau tidak dibicarakan lebih jauh, hulu dan hilir, bisa saja kita membenahi dokumen perencanaan tapi tidak akan pernah bertanggungjawab kalau itu gagal.  Jadi, cek kegagalan praktek perlindungan anak tidak diletakkan pada ada dokumen atau tidaknya.  Tapi, juga harus dipastikan ada korelasi antara perencanaan, kelembagaan, dan budgeting dengan menurunnya tindak kekerasan pada anak dan keterpelacuran itu, termasuk penanggulangan kemiskinan.   Cahyo tahu, budget penanggulangan angka kemiskinan itu naik.  Tapi, menurunnya angka kemiskinan itu berkorelasi signifikan atau tidak?  Belum tentu.  Itu jangan diulang-ulang tiap tahun, kalau kita mau buat breakthrough.

Saya punya optimisme. Presiden Jokowi punya komitmen seperti itu. tapi, ketika ini diterjemahkan dalam birokrasi, teknokrasi, itu bebannya. Itu yang disebut jantung revolusi mental, membongkar narasi dan paradigma dalam program-program pembangunan.

Beragam isu eksploitasi anak perlu dipetakan, Saya usul itu, dari menemukan prioritas masalah yang harus ditangani agar intervensi kebijakan lebih tepat.  Isu tentang keterlacuran anak, eksploitasi anak, sudah lama.  Isu yang memasukkan ini sebagai program sudah ada.  Tapi, evaluasi untuk membenahi dari tahun ke tahun yang dibutuhkan.  Dalam konteks ini, Saya usul, kita perlu review kebijakan yang diperlukan: apakah kemandekan ini karena problem implementasi semata, komitmen politik atau difungsi kelembagaan.  Nanti, mas Taufan bisa cerita Komnas HAM koordinasi dengan Komisi Perlindungan anak.  Saya juga menilai, isu ini minimnya budget untuk perlindungan anak.

Saya usul, perlu –yang disebut- radikalisasi pemberdayaan. Sekarang ini, pemberdayaan hanya tempelan. Radikalisasi pemberdayaan itu adalah –Saya memberi catatan- menempatkan anak sebagai subyek program, gerakan, dan orientasi perubahan. ini tidak mesti disederhanakan dalam pendekatan teknokrasi. Tapi, gerakan-gerakan komunitas sangat penting untuk membicarakan anak sebagai subyek. Saya senang tapi sekaligus sedih mendengar lomba tadi.  Betapa cerita seperti itu banyak.  Itu menunjukkan banyak kasus.  Tapi, Saya bangga karena kemampuan anak-anak ini mengangkat ini dalam film dan tulisan.

Saya usul agar pendekatan lama, pemberdayaan yang Saya anggap masih palsu karena pembungkus praktek birokratisasi, instrumentalisasi dengan tajuk teknokrasi kebijakan strategis harus dibongkar.

Usul Saya, kita perlu menempuh advokasi perlindungan anak yang berarti mendorong perluasan arena anak. Sekarang, anak tidak bisa menolak teknologi masuk, tinggal kualitas pemanfaatan teknologi yang harus dipikirkan. Caranya? Di komunitas didorong ada sanggar anak, tempat belajar bersama, ruang publik. Itu harus diperbanyak.  Teknologi informasi yang membanjir, itu arenanya. Dengan cara seperti itu, Saya kira, ini ancaman terbesar juga ke depan, 10 tahun kalau kita tidak waspada, menebalnya sentimen identitas anak akibat dari semakin sempit ruang bertemu sesama anak yang berbeda. Nanti, 10 tahun ke depan akan terasa, anak menjelek-jelekkan identitas etnis maupun agama orang lain.  itu produk hari ini kalau kita gagal membuat frame tentang pemberdayaan.  Ini tantangan untuk Samin dan teman.  Terakhir, Fasilitasi di komunitas, promosi kultur peka dan peduli hak anak, pelibatan sosial secara emansipatoris, dan penghargaan sebagai poros perubahan.

Beberapa waktu lalu Saya menyusun naskah akademik soal RPTRA waktu masih Jarot.  Sekarang, Gubernurnya Anis. Itu dilanjut atau tidak? Itu harus dikawal. Karena itu akan menjadi, arena sekecil apapun sebagai praktek  penghargaan kepada anak. Anda tahu sendiri, Jakarta semakin terjadi penyempitan ruang maka potensi represif akan semakin tinggi. Untuk itulah kita perlu melakukan advokasi.

Catatan:

Tulisan ini disusun berdasarkan pemaparan Dr. Arie Sudjito (Sosiolog, Fisipol UGM) dalam Seminar Nasional “Inklusi Sosial bagi Anak yang Dilacurkan”, Jakarta, 29 Agustus 2018 diselenggarakan oleh Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN).