Jakarta, CNN Indonesia — Kementerian Sosial menurunkan Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dan relawan untuk memulihkan kondisi mental anak pelaku korban bom Surabaya.
Pemulihan kondisi antara lain dilakukan dengan konseling, bimbingan pendidikan dan pendampingan ke rumah, namun tetap memperhatikan hak anak.
“Kita mengandalkan asesmen. Sebelum anak-anak dikembalikan ke sekolah atau ke masyarakat, kita asesmen dulu sejauh mana kekuatan dia dalam beradaptasi pada lingkungannya yang baru,” kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemensos Edi Suharto di Jakarta, Kamis (17/5).
Kemensos juga melakukan asesmen terhadap lingkungannya untuk mengetahui sejauh mana mereka bisa menerima anak pelaku.
Dalam proses transisi itu, kata Edi, Sakti Peksos mendampingi anak dalam kurun waktu tertentu dan memastikan yang bersangkutan tidak menerima perlakuan buruk dari guru dan teman-temannya. Periode waktu pendampingan bisa bervariasi antara 3-12 bulan.
“Kalau perlu boleh ikut ke sekolah dulu. Maklum, namanya juga anak-anak mungkin spontan melakukan diskriminasi atau stigma ala anak-anak,” ujarnya.
Kemensos juga akan melakukan penyuluhan ke para guru demi menjelaskan bahwa kondisi anak pelaku sudah baik dan tidak perlu dicurigai.Empat anak pelaku teror di Surabaya dan Sidoarjo yang berhasil selamat adalah AR (15), FP (11), dan GHA. Ketiganya adalah anak Anton Febriantono, terduga teroris yang tewas setelah bom meledak di rumahnya di Rusun Wonocolo, Sidoarjo, pada Minggu (13/5).
Satu anak lain yang selamat berinisial AIS, anak pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya, Senin (14/5). Anak 8 tahun itu selamat setelah terlempar saat ledakan. Sementara empat orang tewas dalam peristiwa tersebut, yaitu ayah, ibu, dan dua kakaknya. (pmg/pmg)